Seperti biasanya, kantor di dekat Tanah Kusir selalu memberikan inspirasi. Hari Minggu, menitipkan mobil di kantor untuk melanjutkan perjalanan ke bandara sudah saya lakoni sekian tahun. Setiap menjelang bulan Ramadhan Tanah Kusir selalu ramai dikunjungi sanak keluarga yang hendak berziarah. Ritual yang begitu kental dengan ke-Indonesia-an. Bulan suci yang mengajak semua penganutnya untuk mengendalikan diri dari segala nafsu, amarah, keserakahan dan keinginan.
Entah kapan budaya ziarah ini mulai berkembang. Tampaknya tidak terlalu penting untuk mempersoalkannya. Meskipun urusan ziarah menjelang bulan puasa tidak semua orang menyetujuinya, saya tidak dalam kapasitas untuk menyatakan pro dan kontra soal ini. Hanya saja, ziarah dalam kaca mata Memimpin Dengan Eling memiliki makna yang luar biasa. Ziarah menjelang puasa dalam bahasa Gusdur adalah pribumisasi Islam. Saya tidak mau mengulasnya sebab akan muncul pro dan kontra dari bapak bangsa yang terkadang oleh sebagian orang dikategorikan kontroversial. Saya hanya akan membahas makna Ziarah saja dari sudut pandang Memimpin dengan Eling.
Ziarah bermakna kita eling kepada Sang Pemberi Hidup. Mustahil kita ada tanpa orang tua kita. Orang tua kita ada karena leluhur-leluhur kita. Kakek nenek buyut yang barangkali sudah meninggalkan kita. Sang Pemberi Hidup menghadirkan saya, anda, kita ke dunia ini melalui orang tua dan leluhur yang kita cintai. Mereka memiliki andil dalam hidup kita sekarang. Ketika kita eling, kita tidak jumawa. Kita sadar bahwa semua keberhasilan kita adalah karena kita mewarisi benih-benih orang tua dan leluhur kita.
Ziarah membawa kita selalu mengingat pada jasa-jasa orang tua dan leluhur yang telah memberikan segala kasih dan sayangnya kepada kita. Mereka dengan segala jerih payahnya telah menghadirkan kita di dunia ini. Mengeringkan tulang dan darahnya untuk kita agar menjadi orang-orang yang mampu mensyukuri hidup dan selalu eling kepada Sang Pemberi Hidup. Sesungguhnya Ziarah bermakna sangat dalam dalam meruwat bathin kita agar kembali berada dalam pelukan Sang Pemberi Hidup. Bersatu dengan Sang Pemberi Hidup. Mewarisi keilahian dariNya agar hidup kita selalu eling bersamaNya.
Kita mewarisi segala benih baik dan benih buruk dari orang tua dan leluhur kita. Dengan eling kita menyirami benih-benih baik warisan orang tua dan leluhur kita. Dengan eling kita menetralisir benih-benih buruk dari orang tua dan leluhur kita. Ziarah membawa kita kembali menghargai semua warisan benih tersebut. Ziarah juga mewariskannya kepada anak cucu kita agar selalu memiliki rasa hormat pada orang tua dan selalu eling bahwa keberadaannya di dunia ini tidak karena satu faktor tunggal namun himpunan dari berbagai faktor yang saling berketergantungan. Faktor terdekat dan terkental adalah hubungan darah dan DNA yang menjadikan kita mewarisi segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki orang tua kita.
Ziarah bukanlah semata-mata faktor ritual. Bukan juga milik satu agama atau satu suku. Makna ziarah jauh lebih penting daripada ritual ziarah itu sendiri. Ziarah menyiramkan air dan kembang ke pusara. Menyiram semua benih-benih baik dari orang tua dan leluhur agar benih baik leluhur kita ikut berkembang dalam diri kita. Sungguh makna yang sangat mendalam. Entah dalam agama apapun, doa selalu menyertai ziarah. Seakan memusatkan segala kesadaran agar bathin siap menjadi bersih dan Fitri untuk menjalankan sebulan penuh ibadah yang mulia.
Setelah ziarah, tentu memasuki bulan puasa adalah tantangan tersendiri untuk mengalahkan segala hawa nafsu. Janganlah hanya menjadi sekedar melawan hawa nafsu ketika jam berpuasa, mengendalikan hawa nafsu justru teramat berat ketika berbuka puasa. Seringkali pengeluaran bulan puasa melebihi pengeluaran biasanya. Hendaknya kesederhanaan menjadi perilaku kita sehari-hari.
Bulan puasa kita diajak untuk mengendalikan diri. Kita pasti tahan untuk tidak korupsi , tidak prositusi, tidak kolusi, tidak manipulasi, tidak emosi dan si si si lainnya. Saya hanya berimajinasi seandainya bulan suci ini bisa terus sepanjang tahun, alangkah indahnya. Tentu ini hanya imajinasi. Puasa adalah alat kita untuk memiliki rem dalam diri kita. Mengendalikan gas yang sudah kita kebut sepanjang tahun, rem ini sangat diperlukan agar kita tidak terus menekan gas dan masuk jurang.
Puasa dalam sejarah kebudayaan sudah menjadi kebiasaan bangsa Indonesia. Banyak jenisnya sesuai dengan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat kita dahulu. Puasa senen kamis, puasa mati geni (api), puasa nyepi, puasa vegetarian, puasa ngerowot (makan umbi-umbian) dan berbagai jenis puasa lainnya yang dilakoni oleh masyarakat kita jaman dulu bahkan masih ada di masa kini. Tujuannya sederhana, mengekang diri, mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan syahwat kekuasaan, mengendalikan keserakahan terhadap harta, tahta dan wanita/pria.
Seandainya puasa merupakan urusan sepanjang masa, maka puasa akan memiliki stopping power dalam hidup kita yang serba instan. Kita butuh stopping power untuk mengentikan diri kita, membawa kesunyian dalam diri kita. Persis seperti kemampuan mengendapkan air keruh agar kita jernih dalam berpikir, bertuturkata dan bertindak .
Banyak persoalan pelik yang dapat dihindari dengan kemampuan mengendalikan diri. Salah ucap bisa menyebabkan orang tersinggung dan membuat seluruh hidup menjadi rumit. Apalagi disertai emosi. Neraka langsung terbuka di hadapan orang yang tidak mampu mengendalikan ucapannya.
Salah tindakan berakibat fatal. Banyak pembunuhan, keributan terjadi karena salah dalam menata perilaku. Orang muak, tersinggung, sebel karena lagak kita yang tidak pantas. Berjas dan berdasi bak negarawan dan bangsawan, namun kelakuannya lebih mirip bangsatwan.
Yang paling berbahaya adalah salah dalam berpikir. Salah berpikir paling berbahaya dalam hidup sebab pikiran adalah panglima hidup. Pikiran yang didominasi persepsi dan kehilangan eling dan stopping power akan sangat fatal. Bila mata pena lebih berbahaya dari mata pisau, maka pikiran yang salah jauh lebih berbahaya daripada binatang buas. Dalam puasa kita juga mengendalikan keliaran berpikir kita.
Puasa mengembalikan kita pada kemampuan hening, kendali diri, stopping power agar kita mampu mengatakan tidak pada yang tidak pantas. Berani menolak yang bukan miliknya. Berani berkata tidak pada orang lain yang mengajak atau memberikan kita apa saja dari hasil yang tidak pantas. Termasuk kepada keluarga dan orang tua kita bila kita diberikan makanan dari hasil kerja tak halal. Stopping power ini patut dibawa dalam kehidupan kita sehari-hari. Puasa selayaknya menjadi praktik hidup kita sehari-hari.
Akhir cerita, saya sering mendengar teman dan saudara bertanya mengapa berkantor dekat kuburan Tanah Kusir. Syereeemmm, menakutan. Namun bagi saya, berkantor di dekat tempat peristirahatan terakhir memang selalu membawa berkah. Setiap hari bila terdengar suara sirine ambulans berbunyi, saya selalu menarik nafas, mengingatkan kita bersyukur masih diberi nafas kehidupan. Setiap sirine ambulans berbunyi kita diingatkan pada kematian. Bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Sirine yang mengaung mengingatkan kita dengan “check in yang tidak bisa check out”. Semoga kita semua selalu eling dan diingatkan dengan kematian. Agar kita selalu waspada bahwa hidup hanya sepenggal nafas. Tidak ada yang perlu disombongkan dalam hidup ini.
Mari menjalankan ibadah puasa ini dengan kesederhanaan materi, kekayaan bathin, semeleh, dan eling. Semoga ibadah puasa meningkatkah kualitas bathin kita.
Layangkan email anda ke budiman.goh@gmail.com, follow twitter @budimangoh
Baca tulisan lainnya di https://leadershipmindful.wordpress.com
India, 15 Juni 2015